Sejarah kehidupan Buddha menunjukkan Buddha sebagai Guru para dewa dan manusia, Beliau banyak bergaul dengan semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat yang digolongkan kelas rendah sampai para raja, pangeran, dan menteri. Masyarakat menaruh rasa hormat yang tinggi, tutur kata Beliau dijadikan sebagai pedoman hidup. Dharma yang disampaikan penuh keindahan menjadi daya tarik yang luar biasa. Saat mendengarkan wejangan Dharma banyak yang mencapai pencerahan. Pengaruh beliau sangat besar bagi kehidupan manusia. Walaupun demikian, Beliau tidak pernah menggunakan atau memaksakan pengaruh kekuatan politik dalam pembabaran Dharma. Orang mendengar, mempelajari, mempraktekkan Dharma karena mereka sadar Dharma merupakan pelita bagi kehidupannya.
Perkembangan agama Buddha selalu konsisten dengan ajaran yang terkandung di dalamnya. Sehingga sejarah perkambangan agama dilandasi cinta kasih dan belas kasih kepada semua makhluk. Penyampaian dengan cara kekerasan tidak dibenarkan, apalagi memaksa orang beralih keyakinan karena pengaruh kekuatan politik penguasa.
Pembabaran Buddha Dhamma tidak diarahkan pada pembentukan organisasi atau lembaga keagamaan yang besar sehingga dapat menampung banyak orang. Tetapi pendekatan yang diterapkan adalah memberikan jalan atas masalah-masalah kehidupan dalam menciptakan keharmonisan sebagai perumah tangga, hubungan yang terjalin baik dalam masyarakat. Memperbaiki pola berpikir, potensi diri dan sumber daya manusia dalam membina keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Membimbing mausia agar menyadari betapa bahaya membiarkan diri dikuasai sifat keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Kekuatan politik yang memberikan manfaat bagi masyarakat tentu sangat diharapkan oleh semua, sebaliknya kekuatan politik yang merugikan masyarakat serta membawa penderitaan tentu tidak diharapkan. Terlepas dari sistem politik dianut oleh masyarakat atau bangsa tertentu, ada faktor-faktor universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh karma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang bersifat dukkha (ketidakpuasan), anicca (ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan).
Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Oleh karena itu untuk menjadi bebas, orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan. Kebebasan dapat terjadi ketika manusia mempraktekkan Dharma melalui ucapan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dalam mencapai tujuan akhir, yaitu Pencerahan Sempurna.
Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini. Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Pada saat masyarakat terbagi menjadi kasta atau kelas tertentu. Buddha menunjukan keberadaan, sebab musabab terbentukkan kasta tidak lain dari hasil perbuatan manusia berdasarkan profesi yang terbentuk dalam masyarakat. Ada hal yang menarik pada jaman Buddha, yaitu : klasifikasi manusia dilihat berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka. Orang menjadi hina atau mulia ditentukan diri sendiri, oleh perbuatan sendiri bukan karena kelahiran atau yang lain.
Pada saat Buddha telah menahbiskan lima orang Bhikkhu, pada saat tersebut telah terbentuk organisasi Bhikkhu yang pertama, yang dikenal dengan sebutan Sangha. Meskipun Sangha merupakan bentukan Buddha, Beliau tidak pernah menunjuk orang tertentu untuk menggantikan kedudukan Beliau. Semua anggota memiliki kedudukan yang sama. Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Peraturan-peraturan yang dikumpulkan menjadi Vinayaa sampai saat ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan tersebut dalam menentukan dan menuntun perbuatan mereka. Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi.
Pada saat timbul permasalahan dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoaian dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi seperti sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Seorang petugas khusus yang serupa dengan "Tuan Pembicara" ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali.
Demikian praktek Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara. Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Penjelasan lain atas hal tersebut di atas dapat pula kita temui pada Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil.
Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai "Dasa Raja Dhamma". Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :
1. Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
2. Memelihara suatu sifat moral tinggi.
3. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
4. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
5. Bersikap.baik hati dan lembut.
6. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.
7. Bebas dari segala bentuk kebencian.
8. Melatih tanpa kekerasan.
9. Mempraktekkan kesabaran, dan
10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.
Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasehatkan, sebagai berikut :
- Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya.
- Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
- Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
- Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat.
Dalam Milinda Panha dinyatakan : Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya.
Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara. Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan "Panjang umur Yang Mulia" (Majjhima Nikaya).
Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang.
Pada kesempatan tertentu Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan.
Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat. Meskipun demikian, kontribusiNya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yang penting sekali bagi kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selarna manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia.
Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan pula doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut menyiapkan jalan ke Nibbana. Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri keinginan (tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Hal ini dipertegas Dhp. 75 yang bunyinya, "Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan jalan yang lain menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) ".
Meskipun demikian hal itu jangan diartikan sempit, agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.